Tulisan Deskriptif
Franciska M.T
10207480
3 EA 01
Sarung Ketupat membludak,ludes di serbu massa
Desiran angin di siang hari itu, membuat bilahan bambu kering yang belum dianyam, ikut terumbai-umbai. Seakan menunggu giliran, untuk dianyam oleh sang penjual. Tumpukan bambu kering menjadi saksinya. Tidak hanya satu, bahkan beberapa penjual pun melakukan hal yang sama di sudut-sudut Jalan Pasar Agung, Depok II Timur. Sesekali sambil menganyam ketupat seorang pedangang, Warto, 50, meladeni tawar-menawar yang dilontarkan oleh beberapa pembeli yang melintas saat itu. Ada yang sepakat mengenai harga sehingga pembeli pun langsung tersenyum kecil menandakan kepuasaan harga yang ditawar. Bukan saja satu ikatan, bahkan beberapa ikatan sanggup dibawa oleh Ibu Sukinah, 35, disaat terik matahari tidak bisa ditolerir. Semangat menyambut hari nan fitri memacunya melakukan hal itu. Langsung kuhampiri dia dari kejauhan, kutanyakan harga satu bungkus ketupat itu. Rp 300,-/ bgks jawabnya. Waw, harga yang fantastis untuk sebuah sarung ketupat. Padahal dua bulan lalu saat ibuku menyuruh membeli sarung ketupat untuk acara makan-makan keluarga, hanya Rp 150,-/bgks. Sesudah itu dia langsung pergi meninggalkanku dengan membawa 3 ikatan sarung ketupat. Satu ikat terdiri dari 30 bungkus. Jadi, Rp 27.000,- yang dia keluarkan hanya untuk sarung ketupat saja.
Selain itu, di sudut lain ada pula pembeli, yang pindah dari satu pedagang ke pedagang ketupat yang lain. Harga yang tidak sesuai pasti jawabannya. Benar saja hal ini dilakukan Ibu Defi, 38, tetanggaku yang kebetulan bertemu di pasar siang itu. Dengan ramah, dia tetap meladeniku berbincang-bincang sambil memilah-milih bungkus ketupat yang bagus dan murah. Akhirnya pilihan dia tertuju pada seorang bapak paruh baya yang berjualan di ujung jalan pasar itu. Dari posisi ia berjualan saja, sudah terlihat tidak strategis, selain di ujung jalan yang jarang dilalui pembeli, tempat ia berjualan pun tidak dilindungi oleh pohon yang rindang. Maklum saja, para pedangang berebutan tempat jualan, karena penjual bungkus ketupat di pinggir jalan itu, hanya penjual musiman yang tidak terkena sewa kios. Kembali ke lapak ujung itu, terlihat jika ikatan bungkus ketupat Pak Cahyono, 40, lebih banyak dibanding dengan pedangang lainnya. Melihat tidak terlalu banyak pembeli yang menawar, Ibu Defi mengarahkan langkahnya. Akhirnya disepakati harga per bungkus Rp 250,-/bgks. Lima ikatan dibeli oleh Ibu Defi. Satu ikatan sebanyak 40 bungkus ketupat, dan selembar uang Rp 50.000,-an dia keluarkan. Senyuman pun tersungging di wajahnya, tanda rasa kepuasaan karena mendapat bungkus ketupat yang lebih murah. Mungkin karena lokasi yang terpojok dan sepi pembeli,membuat Pak Cahyono menurunkan harga ketupatnya. Terlepas dari itu, semakin sore semakin banyak pengunjung yang ingin membeli bungkus ketupat, karena hari itu adalah H-2 sebelum lebaran tiba.Dan hitungan waktu pun, ketupat-ketupat di pasar itu laku terjual. Tak peduli mahal atau tidaknya, tapi semua pengunjung pasti pulang dengan menenteng bungkus ketupat. Namanya juga hari raya, pasti semua orang ingin memenuhi kebutuhannya yang hanya dirasakan setahun sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar